Nasional

Oplos Pertalite Jadi Pertamax Dirut PT Pertamina Patra Niaga di Tahan

Oplos Pertalite Jadi Pertamax Dirut PT Pertamina Patra Niaga di Tahan
Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi. (foto : istimewa)

JAKARTA, BEBASberita.com - Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS) ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Ia diduga terlibat korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023 yang membuat negara mengalami kerugian hingga Rp 193,7 triliun.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan, penetapan status Riva Siahaan itu bersama dengan tersangka lainnya.

Penetapan RIva Siahaan sebagai tersangka setelah Kejagung memeriksa 96 saksi, 2 ahli, dan serta bukti dokumen yang sah.

"RS akan ditahan selama 20 hari untuk proses pemeriksaan lebih lanjut bersama dengan enam tersangka lainnya," kata Abdul Qohar.

Kasus korupsi yang dilakukan Riva Siahaan itu modusnya menyulap BBM RON 90 Pertalite jadi RON 92 Pertamax. RS melakukan pembayaran produk kilang untuk RON 92 (Pertamax), tetapi BBM yang dibeli adalah jenis RON 90.

"BBM RON 90 itu kemudian dicampur di Depo untuk menjadi RON 92," ujarnya.

Kasus ini bermula dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 yang mewajibkan PT Pertamina memprioritaskan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

Aturan tersebut membuat pemenuhan kebutuhan minyak mentah dalam negeri dipasok dari dalam negeri.

Advertisement

Namun, hasil penyidikan Kejagung mengungkapkan, RS, SDS, dan AP mengondisikan rapat optimalisasi hilir

Rapat itu menjadi dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

Dengan begitu, pemenuhan minyak mentah dan kebutuhan kilang dilakukan melalui impor yang melawan hukum. Saat produksi minyak mentah turun, dibuat skenario untuk sengaja menolak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).

Dengan skenario itu, produksi minyak mentah K3S dianggap tidak memenuhi nilai ekonomis. Padahal, harga yang ditawarkan masih tergolong rentang harga normal.

Selain itu, produksinya juga ditolak dengan alasan tidak sesuai spesifikasi yang diinginkan. Alhasil, minyak mentah produksi K3S diekspor ke luar negeri.

Sementara, kebutuhan minyak mentah dalam negeri dipenuhi melalui impor.

Advertisement

Abdul Qohar menuturkan, ada perbedaan harga yang sangat tinggi antara minyak mentah impor dan produksi dalam negeri. Para tersangka diduga mengincar keuntungan lewat tindakan pelanggaran hukum ini.

Tersangka RS, SDS, dan AP juga memenangkan broker lewat cara yang melawan hukum. Sementara, tersangka DW dan DRJ berkomunikasi dengan AP untuk memperoleh harga tinggi saat syarat belum disetujui oleh SDS ketika mengimpor minyak mentah dan dari RS untuk produk kilang.

"Pada saat proses impor minyak mentah dan produk kilang, ditemukan adanya manipulasi (mark up) kontrak pengiriman yang dilakukan YF lewat PT Pertamina International Shipping," jelasnya.

Akibatnya, negara harus membayar fee sebesar 13-15 persen yang menguntungkan tersangka MKAN. Perbuatan melawan hukum ini mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun.

Editor : Tim BEBASberita.com